Alda K Yudha, Lc. MH
Dosen UAD
MUI, NU, dan Muhammadiyah menyatakan bahwa haram hukumnya menggunakan mata uang Kripto (Cryptocurrency) baik sebagai alat investasi maupun alat tukar. Namun yang menjadi pertanyaan kemudian adalah, setelah fatwa ini, lalu apa yang dipahami?
Uang Kripto, NFT, dan Metaverse
Sebagai pendahuluan, agar mudah dipahami, mata uang kripto adalah mata uang digital yang keberadaanya dilindungi oleh kode-kode tertentu yang tercatat dalam (semacam) buku kas digital bernama teknologi blockchain. Blockchain sendiri awalnya adalah sebuah teknologi yang mengizinkan informasi digital untuk tercatat dan terdistribusi tanpa bisa diubah, dihapus, atau juga dihancurkan. Teknologi ini kemudian dipakai dalam mata uang kripto untuk menjadi semacam buku kas besar yang mengatur lalu lintas penggunaan mata uang digital dan tentunya juga menjamin keaslianya.
Berkaitan dengan mata uang kripto, beberapa saat yang lalu salah seorang warga Indonesia mendadak menjadi milyader dengan bermodal foto selfinya selama bertahu-tahun bertajuk Ghazali Everyday. Dia menjual poto-poto selfinya (dengan iseng) lewat NFT (non-Fungible Token) yang lagi-lagi menggunakan teknologi blockchain dan juga mata uang kripto sebagai alat tukar. Kisahnya menjadikan kampanye penggunaan mata uang digital semakin digandrungi banyak orang. Lalu ada lagi metaverse. Dimana metaverse ini dapat dipahami sebagai dunia maya yang dapat kita masuki secara langsung. Dengan teknologi ini, kita bisa kumpul syawalan keluarga besar, sekolah, mencoba baju yang mau dibeli, dll, di sebuah ruangan maya, tanpa meninggalkan kamar masing-masing, yang lagi-lagi metaverse ini nantinya juga akan bersinggungan dengan mata uang kripto. Semua hal yang disebutkan diatas, merupakan tekonologi yang sudah di depan mata dan sudah dikampanyekan. Semua ini, ibarat ramalan cuaca, tinggal menunggu waktu dan dunia akan berubah ke arah tersebut.
Fatwa Mata Uang Kripto
Kembali ke statement awal, tiga organisasi besar Islam sudah mengharamkan mata uang kripto. Tentu hal tersebut sah-sah saja karena memang salah satu tugas lembaga islam ini adalah untuk memberikan arahan tentang halal-haram. Bagi muslim yang memperhatikan tentang halal-haram dalam kehidupanya, tentu fatwa-fatwa seperti ini sangat penting. Tapi pernyataan tersebut tidak boleh berhenti disitu saja. Karena bagaimanapun masyarakat butuh solusi konkrit ketika dunia nantinya mengharuskan kita untuk bersinggungan dengan metaverse, NFT, dan juga mata uang kripto. Jika hanya berhenti di fatwa ini, masa lalu akan berulang, di masa dimana ketika dunia ekonomi dikuasai oleh bank-bank konvensional (sampai sekarang), lalu lembaga Islam mulai bergerak tumbuh, tapi hanya bisa berkecimpung dalam bidang syariah-isasi akad-akad konvensional. Karena jangan-jangan jika nanti dunia sudah beralih ke mata uang kripto dan sebagai organisasi mau tidak mau juga harus menggunakan uang kripto, kita hanya bisa berfatwa “mata uang kripto hukumnya haram, akan tetapi boleh digunakan dengan alasan darurat“, sebagaimana alasan daruat yang dipakai dalam hal vaksin dengan zat babi. Haram tapi boleh. Lalu, sampai kapan kita akan menggunakan isu darurat ini, padahal kita bisa bersiap-siap sebelum kedaruratan itu benar benar datang?
Jika dibaca dalam fatwa haram kripto Muhammadiyah, kita dapat melihat adanya kemungkinan bahwa uang kripto ini menjadi halal. Menurut Muhammadiyah, alat tukar harus memenuhi setidaknya dua syarat, yaitu diterima masyarakat dan juga disahkan oleh negara/ lembaga yang bertanggungjawab. Dari dua alasan tersebut, tinggal satu hal yang belum dimiliki mata uang kripto ini, yaitu disahkan oleh negara atau bisa juga diartikan adanya lembaga resmi yang bertanggungjawab atas peredearan mata uang ini. Hal ini dikarenakan prinsip perlindungan terhadap harta pengguna kripto itu sendiri. Maka jika negara (misalnya Indonesia) bersedia menjadi pengguna resmi dan juga bertanggungjawab atas beredarnya sebuah mata uang kripto, dari sini kripto sebagai mata uang bisa menjadi halal. Adapun dalam hal menjadi alat investasi, jika melihat fatwa MUI maka mata uang kripto ini bisa menjadi diperbolehkan ketika ada underlying asset.
Lembaga Islam dengan segala sumber daya dan dana yang dimiliki seharusnya bisa mengalokasikan sebagian tenaga dan dananya untuk memperhatikan masa depan yang sudah didepan mata ini. Mumpung kita belum terlalu terlambat untuk bergerak. Harapanya fatwa mengenai kripto ini tidak hanya berhenti pada aspek keharamanya, akan tetapi juga ada follow-up lebih terutama dalam hal solusi masa depan jika metaverse dan mata uang kripto tidak bisa terhindarkan lagi. Apalagi bagi Muhammadiyah yang memiliki komitmen pada jargon Islam Berkemajuan, perhatian mengenai hal ini tampak menjadi keharusan untuk membuktikan komitmen tersebut. Wallahu a’lam.