Muhammad Ammar Hidayahtulloh, The University of Queensland
Perempuan seringkali menjadi kelompok yang rentan mengalami diskriminasi, kekerasan dan ketidakadilan atas nama agama.
Aturan-aturan yang dibuat oleh negara kerap mengatasnamakan moralitas dan agama, dengan cara menciptakan batasan-batasan bagi perempuan di ruang publik.
Caranya bisa beragam, mulai dari mengatur jam malam bagi perempuan, mengkriminalisasi korban kekerasan seksual baik di ranah publik maupun domestik, wacana tes keperawanan, serta membatasi pilihan ekspresi individu, agama, dan aliran kepercayaan minoritas.
Yang paling menonjol adalah aturan mengenai cara berpakaian perempuan. Komnas Perempuan mencatat bahwa pasca-Reformasi 1998, ada 62 kebijakan daerah di 15 provinsi yang memuat aturan busana dengan mengadopsi interpretasi tunggal dari simbol agama mayoritas, termasuk pemaksaan penggunaan hijab di sekolah dan pada aparatur sipil negara.
Guna melepaskan perempuan dari jerat diskriminasi, kekerasan, dan ketidakadilan yang mengatasnamakan agama, negara perlu mendukung dan memfasilitasi munculnya agensi maupun aktor yang bisa mengubah kondisi tersebut.
Dalam hal ini, Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) menghadirkan peran ulama-ulama perempuan dengan kerja-kerja pemberdayaan perempuan dan keadilan sosial yang bertujuan menggaungkan nilai-nilai keislaman yang berkeadilan, berkebangsaan dan berkemanusiaan.
Kongres Ulama Perempuan Indonesia
KUPI adalah sebuah gerakan yang berupaya untuk menghapuskan diskriminasi, kekerasan, dan ketidakadilan berbasis gender, khususnya terhadap perempuan, dengan menegaskan peran dan posisi penting ulama perempuan di Indonesia.
Orientasi gerakan KUPI berpegang pada prinsip intelektual, kultural, dan sosial yang berupaya mendorong transformasi sosial yang berkeadilan gender.
Pada 24-26 November 2022, KUPI menyelenggarakan kongres nasional kedua di Pondok Pesantren Hasyim Asy’ari, Jepara, yang dihadiri oleh 1.600 peserta dari berbagai kalangan, termasuk perwakilan ulama perempuan dari 31 negara.
Dalam sejarahnya, KUPI adalah sebuah rangkaian panjang dari kerja-kerja aktivis perempuan Muslim di Indonesia yang telah dimulai sejak awal 1990-an. KUPI diinisiasi oleh Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) melalui program Fiqhunnisa’ (Fikih Perempuan).
Kerja-kerja ini kemudian dilanjutkan oleh beberapa organisasi yang lahir setelah Reformasi 1998 dan menjadi bagian dari jejaring KUPI, seperti Rahima dan Fahmina Institute. Keduanya memiliki program pengkaderan ulama perempuan.
Jejaring ulama perempuan inilah yang kemudian menginisiasi kongres KUPI pertama yang diselenggarakan pada 25-27 April 2017 di Pondok Pesantren Kebon Jeruk Al-Islamy, Cirebon.
Sejak kali pertama lahir, kiprah KUPI telah diakui oleh berbagai pihak termasuk pemerintah, lembaga keagamaan dan masyarakat sipil, baik di dalam dan di luar negeri.
KUPI dalam mendorong transformasi sosial yang berkeadilan gender
KUPI menjunjung tinggi empat visi utama, yaitu keislaman, kebangsaan, kemanusiaan dan kesemestaan.
Cita-cita KUPI dalam menciptakan transformasi sosial yang berkeadilan gender tercermin dalam putusan dan sikap yang dihasilkan melalui musyawarah keagamaan.
Musyawarah keagamaan KUPI secara khusus membahas isu-isu krusial terkait kesetaraan gender dan putusan maupun sikap yang dihasilkan merujuk pada pandangan keagamaan dengan perspektif ulama perempuan.
Pelaksanaan musyawarah keagamaan KUPI menjunjung prinsip-prinsip demokrasi, seperti keadilan (al-‘adalah), kesetaraan (al-musawah), dan musyawarah (asy-syura) dan menegaskan bahwa Islam juga mengajarkan nilai-nilai tersebut. Pengalaman perempuan menjadi salah satu pertimbangan utama dalam menyusun hasil musyawarah keagamaan tersebut.
Hasil musyawarah keagamaan KUPI pertama, misalnya, mengeluarkan fatwa bahwa (1) kekerasan seksual baik di dalam maupun di luar perkawinan hukumnya haram, (2) perusakan alam, atas nama apapun, termasuk atas nama pembangunan, hukumnya haram mutlak, dan (3) mencegah pernikahan anak adalah wajib karena pernikahan anak lebih banyak menimbulkan kerusakan ketimbang mendatangkan manfaat dan kebaikan.
Fatwa tersebut telah menjadi rujukan penting bagi pemangku kebijakan dalam upaya mengurangi angka kekerasan seksual dan pernikahan anak di Indonesia.
Dampak nyata dari fatwa itu yakni disahkannya UU No. 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang meningkatkan usia minimal pernikahan untuk perempuan menjadi 19 tahun.
Selain itu, KUPI juga telah berperang besar dalam mendorong pengesahan UU No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).
KUPI kedua membuahkan hasil musyawarah keagamaan yang merespon lima isu perempuan yang strategis, yakni (1) bahaya kekerasan atas nama agama, (2) keberlanjutan lingkungan hidup, (3) bahaya pemaksaan perkawinan, (4) bahaya kehamilan akibat perkosaan, dan (5) bahaya pemotongan dan/atau pelukaan genitalia perempuan.
Hasil musyawarah itu diharapkan menjadi pegangan bagi para ulama perempuan dalam merespon isu ektrimisme beragama, kerusakan alam, dan diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan yang terjadi di Indonesia.
Dalam konteks advokasi kebijakan yang sensitif gender, ulama perempuan dalam KUPI kedua melakukan konsolidasi untuk mendorong percepatan pengesahan Rancangan Undang Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT).
Perjalanan panjang RUU PPRT yang kini hampir memasuki dua dekade menjadi salah satu perhatian utama bagi ulama perempuan KUPI. Posisi KUPI dalam mengadvokasikan RUU PPRT menjadi sangat penting dalam memberikan narasi keagamaan tentang urgensi memberikan perlindungan kepada PRT sebagai kelompok yang rentan terhadap kekerasan dan ketidakadilan.
Ulama perempuan KUPI juga mendorong implementasi UU TPKS yang disahkan pada 9 Mei 2022.
Sebagai gerakan kultural dan sosial di akar rumput, ulama perempuan yang sebagian besar menjadi pengurus dan/atau pengasuh pondok pesantren memiliki peran penting dalam mengubah stigma buruk terhadap korban kekerasan seksual dan membuka kesadaran yang berpihak kepada korban di lingkungan pendidikan berbasis agama Islam.
Peluang dan tantangan ulama perempuan ke depan
Respon positif akan hadirnya KUPI dari berbagai pihak pemangku kebijakan merupakan bukti adanya pengakuan otoritas atas kerja-kerja ulama perempuan Indonesia dalam mendorong transformasi sosial yang berkeadilan gender.
Ini menunjukkan bahwa ulama perempuan bisa berperan signifikan dalam merawat demokrasi di Indonesia.
KUPI bukan hanya sebuah gerakan kultural dan sosial, melainkan juga sebuah gerakan politik yang bertujuan membongkar bias gender dan mendorong penghapusan kekerasan dan diskiriminasi terhadap perempuan yang dilanggengkan oleh kekuatan patriarki yang sering mengatasnamakan agama.
Di tengah menguatnya konservatisme agama dan politik identitas di Indonesia, KUPI diharapkan dapat menyebarkan pemahaman keagamaan yang adil dan berpihak kepada kelompok marjinal.
Muhammad Ammar Hidayahtulloh, PhD Candidate, The University of Queensland
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.