Setahun lebih sejak merebaknya Covid-19, hingga kini banyak negara berjuang untuk mengatasi Pandemi COVID-19. Sebagian besar negara menerapkan lockdown untuk memastikan physical distancing dan meminimalkan kontak antar orang. Kebijakan dan regulasi yang dibuat untuk mengakhiri pandemi memang tidak mudah bagi semua negara, termasuk Indonesia. Meskipun pemerintah Indonesia tidak menerapkan lockdown yang mencakup tidak ada aktivitas keluar masuk di setiap sektor, lockdown versi Indonesia mengharuskan orang untuk membatasi aktivitas mereka di luar rumah mereka kecuali untuk beberapa sektor penting yang diperintah dalam peraturan Menteri Kesehatan tentang PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar). Dalam kebijakan ini juga dinyatakan bahwa masyarakat harus membatasi segala jenis kegiatan keagamaan berskala besar. Kemudia muncul pertanyaan, seberapa jauh orang Indonesia mematuhi kebijakan ini? Bagaimana jika ini menyangkut masalah peribadatan dan pemahaman agama?
Indonesia terkenal dengan reputasinya sebagai negara dengan populasi muslim terbesar di dunia, sementara data global religious futures menunjukkan bahwa 87,6% populasi di Indonesia adalah muslim. Umat Islam memiliki beberapa jenis peribadatan yang dilakukan secara berkelompok (jamaah), seperti Shalat Jum’at yang dilakukan setiap hari Jumat untuk semua laki-laki, Tarawih yang dilakukan pada bulan Ramadhan, dan sebagainya. Ini juga terjadi di agama lain, seperti cara orang Kristen pergi ke gereja setiap hari Minggu, dan banyak lagi. Namun dengan regulasi pembatasan sosial yang diterapkan oleh pemerintah, banyak bentuk peribadatan tersebut yang tidak dapat dilakukan sama dengan kebiasaan normal sebelum pandemi. Isu yang sering terjadi adalah terdapat macam perbedaan beberapa kelompok umat Islam di Indonesia tentang cara melaksanakan kegiatan peribadatan berjamaah tersebut di masa pandemi ini.
Sekilas, perbedaan pemahaman yang berbeda antara umat dan kelompok yang terkait dengan masalah ini bukanlah sesuatu yang bermasalah. Namun hal itu menjadi lebih bermasalahnya saat banyak terjadi pemberitaan di media massa, menyatakan ada 10 kasus COVID-19 yang terkonfirmasi di Banyumas yang disebabkan oleh Orang Tanpa Gejala (OTG) yang rutin salat di masjid. Kasus ini kemudian menjadi sebuah klaster baru kasus COVID-19, setelah pemerintah mencoba melakukan pelacakan kontak erat dengan mereka yang terkonfirmasi positif. Ini bukan kasus pertama yang juga menunjukkan bagaimana masalah peribadatan mempengaruhi penyebaran SARS-CoV-2. Kasus serupa juga terjadi pada lebih dari dua puluhan orang di sebuah desa di Bogor, Jawa Barat diklasifikasikan sebagai mereka yang berada dalam pengawasan setelah menghadiri ‘tahlilan’ kegiatan keagamaan yang diadakan untuk mendoakan seseorang yang baru saja meninggal, dari tetangga mereka yang dikonfirmasi positif SARS-CoV-2 seminggu kemudian. Ini juga sesuatu yang tidak diinginkan, terutama ketika pemerintah telah membuat kebijakan mengenai Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).
Dalam artikel yang berjudul “How Does Islamic Organizations Respond to COVID-19 in Indonesia? A Case Study” yang terbit di Public Health and Preventive Medicine Archive terdapat alasan mengapa ini terjadi, ada permasalahan yang harus diselesaikan oleh Ormas keagamaan Islam, lebih dari maklumat atau fatwa yang sudah disusun oleh mereka. Dalam artikel ini lebih dijelaskan bagaimana respon organisasi keagaaman Islam dalam Menyusun kebijakan (maklumat) dan membuat fatwa bagi apra pengikut dan simpatisannya.
MUI (Majelis Ulama’ Indonesia), lembaga yang memiliki kewenangan dan kompetensi untuk memberikan fatwa atas banyak persoalan keagamaan Islam seperti haram halal dan tentunya cara-cara umat Islam harus berdoa di masa pandemi ini, telah membuat fatwa pelaksanaan peribadatan (terutama yang dilakukan secara berkelompok) di masa pandemi. Dinyatakan dengan jelas bahwa ada beberapa kondisi di mana umat Islam disarankan untuk berdoa di rumah, atau bahkan tidak dianjurkan untuk melakukan kegiatan beragama secara berjamaah (berkelompok) di masjid. Mencermati kondisi banyak daerah yang masuk dalam ‘zona merah’, umat Islam harus bisa memutuskan apakah aman atau tidak untuk beribadah secara jamaah di masjid.
Selanjutnya, pemerintah dan ulama’ harus bekerja sama untuk mengedukasi masyarakat tentang mengapa kegiatan peribadatan secara jamaah di masjid dilarang untuk sementara. Akan tidak optimal ketika pemerintah dan ulama’ telah menyatakan beberapa peraturan dan fatwa terkait COVID-19, tetapi tidak banyak edukasi yang tepat bagi umat Islam Indonesia tentang hal ini. Upaya ini juga harus didorong oleh semua organisasi keagamaan dan tokoh agama. Termasuk yang tidak pernah kita inginkan timbul asumsi kegiatan keagamaaan menjadi faktor mengapa kasus COVID-19 meningkat pesat di Indonesia sampai dengan hari ini.