Bersyukur dalam segala kondisi adalah “harga mati” bagi mukmin yang tidak boleh ditawar atau dinego lagi. Sebab syukur adalah kunci ketenangan dan kebahagiaan hidup. Tidak bersyukur menjadikan seseorang sibuk menghabiskan energi dan pikirannya pada kehidupan dunia yang tidak ada ujungnya. Sebagaimana seseorang mengejar harta yang diiringi dengan perasaan selalu “kekurangan” dan miskin, seperti sabda Rasul:
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى وَسَعِيدُ بْنُ مَنْصُورٍ وَقُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ قَالَ حَدَّثَنَا أَبُو عَوَانَةَ عَنْ قَتَادَةَ عَنْ أَنَسٍ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّم لَوْ كَانَ لِابْنِ آدَمَ وَادِيَانِ مِنْ مَالٍ لاَبْتَغَى ثَالِثًا، وَلاَ يَمْلَأُ جَوْفَ ابْنِ آدَمَ إِلَّا التُّرَابُ (رواه البخاري)
“Telah menceritakan kepada kami (haddatsana) Yahya bin Yahya, Sa’id bin Mansur dan Qutaibah bin Sa’id, haddatsana Abu ‘Awanah dari Qatadah dari Anas, Rasulullah saw bersabda : Andai bani Adam memiliki dua lembah yang penuh dengan harta, maka dia akan mencari lembah yang ketiga. Dan tidak ada yang bisa memenuhi perut bani Adam kecuali tanah (yaitu kematian)” (HR. Al-Bukhari)
Hadis ini terekam dalam Shahih al-Bukhari bab Man intizhara hatta tudfana, no. 6436 dan Shahih Muslim bab Lau ‘an ibni adam wadiyani labtagha, no. 2462.
Hadis di atas gamblang menjelaskan kepada kita terkait karakter lahiriah manusia umumnya terhadap dunia, khususnya harta. Kecuali mereka manusia yang dapat mengelola diri dan memahami penyebab ketidakpuasan atas nikmat Allah Swt. dan menjadi manusia yang kufur-ingkar. Berikut delapan penyebab kufur nikmat berdasarkan hadis Nabi Saw:
Dunia sebagai tujuan hidup, bukan akhirat
Manusia yang tujuan hidupnya dunia semata, Allah akan menjadikannya fakir selama-lamanya, tidak akan pernah merasa puas dan selalu merasa kurang.
حَدَّثَنَا هَنَّادٌ حَدَّثَنَا وَكِيعٌ عَنْ الرَّبِيعِ بْنِ صَبِيحٍ عَنْ يَزِيدَ عَنْ أَنَسٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ: مَنْ كَانَتِ الدُّنْيَا هَمَّهُ ، فَرَّقَ اللهُ عَلَيْهِ أَمْرَهُ ، وَجَعَلَ فَقْرَهُ بَيْنَ عَيْنَيْهِ ِ، وَلَمْ يَأْتِهِ مِنَ الدُّنْيَا إِلَّا مَا كُتِبَ لَهُ ، وَمَنْ كَانَتِ الْآخِرَةُ نِيَّـتَهُ ، جَمَعَ اللهُ أَمْرَهُ ، وَجَعَلَ غِنَاهُ فِيْ قَلْبِهِ ، وَأَتَتْهُ الدُّنْيَا وَهِيَ رَاغِمَةٌ. (رواه الترمذي)
“Telah menceritakan kepada kami (haddatsana) Hanad, haddatsana Waqi’ dari Rubai’ bin Shabih dari Yazid dari Anas, bersabda Rasulullah Saw.: Siapa yang ambisi terbesarnya adalah dunia, maka Allah akan cerai-beraikan urusannya, Allah jadikan kefaqiran di depan matanya, dan ia tidak mendapatkan dunia kecuali sesuai apa yang telah ditetapkan baginya. Barangsiapa yang ambisi terbesarnya adalah akhirat, Allah akan memudahkan urusannya, Allah jadikan kekayaan di hatinya, dan dunia akan mendatanginya dimana ia tidak menyangkanya” (HR. At-Tirmidzi)
Hadis ini diriwayatkan dalam Sunan at-Tirmidzi, no. 2465; Ibnu Majah dalam Sunan-nya bab Zuhud, no. 4105, dan dinilai shahih oleh Nashiruddin Al-Albani. Seseorang yang terlalu cinta dunia, menurut Ibnul Qayyim dalam Ighatsatul Lahfan, akan mendapatkan tiga kegalauan yang terus menerus dirasakanya sepanjang hidup:
مُحِبُّ الدُنْيَا لَا يَنْفَكَ مِنْ ثَلاَثِ : هُمْ لَازِمُ وَ تَعبُ دَائِمُ وَ حَسْرَة لَا تَنْقَضَي
“Pecinta dunia tidak lepas dari tiga hal: kegalauan dan keletihan terus-menerus serta kekecewaan yang tiada akhir”
Hilangnya sifat qana’ah, meremehkan nikmat kecil
Menerima apa adanya atas segala karunia Allah Swt. (qana’ah) adalah anugerah dikarenakan tidak semua orang memilikinya. Bagi orang yang memilikinya, Rasul menyebutnya beruntung (aflah) sebagaimana sabdanya:
حَدَّثَنَا الْعَبَّاسُ الدُّورِيُّ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يَزِيدَ الْمُقْرِئُ حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ أَبِي أَيُّوبَ عَنْ شُرَحْبِيلَ بْنِ شَرِيكٍ عَنْ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ الْحُبُلِيِّ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّم – قَالَ : قد أفلحَ مَنْ أَسْلمَ ، ورُزِقَ كَفَافًا ، وقنَّعَه اللهُ بِماَ آتَاهُ (رواه ابن حبان)
“Telah menceritakan kepada kami (haddatsana) al-‘Abbas ad-Duri, haddatsana Abdullah bin Yazid al-Muqri, haddatsana Sa’id bin Abi Ayub dari Syurahbil bin Syarik dari Abi Abdurrahman al-Hubli dari Abdullah bin ‘Amr bin Ash, bahwa Rasulullah SAW bersabda : Sungguh beruntung orang yang sudah berislam, lalu Allah beri rezeki yang secukupnya, dan Allah jadikan hatinya qana’ah (merasa cukup) dengan apa yang dikaruniakan kepadanya” (HR. Ibnu Hibban)
Ibnu Hibban meriwayatkan dalam Shahih-nya, Bab al-Farqu wa zuhdu wa al-Qana’ah, no. 670, dimana dinilai shahih oleh kritikus hadis, Syu’aib al-Arnauth. Seorang tidak bisa menjadi pribadi yang qana’ah dan mudah bersyukur, jika tidak pernah menghargai nikmat yang Allah berikan, meski menurutnya sedikit atau kecil.
حَدَّثَنَا يَزِيدُ أَخْبَرَنَا الرَّبِيعُ بْنُ مُسْلِمٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ زِيَادٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَن لا يشكرُ القَليلَ لا يَشكرُ الكثيرَ (رواه مسلم)
“Telah menceritakan kepada kami Yazid telah memberi kabar kepada kami Rubai’ bin Aslam dari Muhammad bin Ziyad dari Abu Hurairah berkata, Rasulullah SAW bersabda: Orang yang tidak mensyukuri yang sedikit, ia tidak akan bersyukur pada nikmat yang banyak” (HR. Muslim)
Kurangnya pemahaman akan ilmu agama
Ilmu ibarat lentera kehidupan sebagai petunjuk menuju suatu tujuan. Mereka yang berilmu memahami betul kekayaan hakiki bukanlah harta benda, namun kaya hati.
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ يُونُسَ حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرٍ حَدَّثَنَا أَبُو حَصِينٍ عَنْ أَبِي صَالِحٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَيْسَ الْغِنَى عَنْ كَثْرَةِ الْعَرَضِ، وَلَكِنَّ الْغِنَى غِنَى النَّفْسِ (رواه البخاري)
“Telah menceritakan kepada kami (haddatsana) Ahmad bin Yunus, haddatsana Abu Bakar haddatsana Abu Hashin dari Abu Shalih dari Abu Hurairah dari Nabi Saw. bersabda: Bukanlah kekayaan itu dengan banyaknya harta, akan tapi kaya hati”
Hadis ini diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam Shahih-nya bab Man intizhara hatta tudfana, no. 6446 dan Muslim dalam Shahih-nya no. 1050.
Hati yang sakit (qalbun maridh)
Hati yang sakit (qalbun maridh) adalah hasil dari kurangnya pemahaman terhadap ilmu agama dan sebatas pada ilmu dunia. Seseorang yang hatinya sakit sangat rentan terserang virus su’uzhan, iri, dengki, hingga hati pun menjadi fakir, lalu matilah hati tersebut. Rasul Saw. berpesan pada sahabat Abu Dzar perihal hati yang fakir ini :
أَخْبَرَنَا ابْنُ قُتَيْبَةَ، حَدَّثَنَا حَرْمَلَةُ بْنُ يَحْيَى، حَدَّثَنَا ابْنُ وَهْبٍ، حَدَّثَنِي مُعَاوِيَةُ بْنُ صَالِحٍ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ جُبَيْرِ بْنِ نُفَيْرٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ أَبِي ذَرٍّ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَفَتَرى قِلَّةَ الْمَالِ هُوَ اَلْفَقْرُ ؟ . قُلْتُ : نَعَمْ يَا رَسُوْلَ اللهِ ! قَالَ : إِنَّماَ الْغَنِى غَنِى الْقَلْبِ ، وَ اْلفَقْرُ فَقْرُ اْلقَلْبِ (رواه ابن حبان)
“Telah memberi kabar kepada kami (akhbarana) Ibnu Qutaibah, haddatsana Harmalah bin Yahya, haddatsana Ibnu Wahab, haddatsani Mu’awiyah bin Shalih dari Abdurrahman bin Jubair bin Nufair dari Ayahnya dari Abu Dzar berkata, Rasulullah Saw. bersabda : Apakah kalian menyangka kefakiran itu adalah kekurangan harta ?”. jawab Abu Dzar: “ya wahai Rasulullah” bersabda: “Sesungguhnya kekayaan hakiki ialah kekayaan hati, dan kefakiran itu ialah kefakiran hati” (HR. Ibnu Hibban)
Ibnu Hibban meriwayatkan dalam Shahih-nya bab al-Faqru wa zuhdu wa Qana’ah, no. 685 dan dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih at-Targhib no. 827.
Kurang beribadah
Seseorang yang fokus dan memaksimalkan dirinya dekat dan beribadah pada Allah Swt. berdampak pada dimudahkan dan dilapangkannya akan urusan dunia.
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ حَدَّثَنَا عِمْرَانُ ابْنَ زَائِدَةَ بْنِ نَشِيطٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي خَالِدٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ يا ابنَ آدمَ : تَفَرَّغْ لعبادَتِي أملأْ صدركَ غِنًى وأسُدُّ فقرَكَ ، وإِنْ لَّا تفعلْ ملأتُ يديْكَ شُغْلًا ، ولم أسُدَّ فقْرَكَ (رواه ابن ماجه)
“Telah menceritakan kepada kami (haddatsana) Muhammad bin Abdullah haddatsana Imran bin Zaidah bin Nasyith dari Ayahnya dari Abu Khalid dari Abu Hurairah berkata, Rasulullah Saw. Bersabda: Allah Swt. berfirman: Wahai manusia! Habiskan waktumu untuk beribadah kepada-Ku, niscaya Aku penuhi dadamu dengan kecukupan dan akan Aku tutup kefakiranmu. Jika engkau tidak melakukannya, maka akan Aku penuhi kedua tanganmu dengan kesibukan dan Aku tidak akan tutup kefakiranmu” (HR. Ibnu Majah).
Hadis ini terekam dalam Sunan Ibni Majah, no. 4107; Shahih Ibn Hibban, no. 393; Musnad Ahmad, no. 8696; dan Sunan at-Tirmidzi, no. 3489.
Jarang berdoa
Selain memaksimalkan diri beribadah, berdoa adalah bagian penting dan inti dari ibadah. Semakin malas dan jarang berdoa, akan semakin sulit kita mengenal dan menjadi hamba Allah yang bersyukur. Padahal rantai kesuksesan adalah ikhtiar optimal dan doa maksimal. Menurut Ibnu Mas’ud, Rasul tidak pernah sekalipun meninggalkan rutinitas berdoa pada Allah Swt.:
حَدَّثَنَا وَكِيعٌ حَدَّثَنَا إِسْرَائِيلُ عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ عَنْ أَبِي الْأَحْوَصِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقُولُ اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ الْهُدَى وَالتُّقَى وَالْعَفَافَ وَالْغِنَى (رواه مسلم)
“Telah menceritakan kepada kami Waqi’ haddatsana Israil dari Abu Ishaq dari Abi Al-Ahwash dari Abdullah bahwa Nabi SAW bersabda : Ya Allah, aku memohon kepada-Mu petunjuk, ketaqwaan, keterjagaan, dan kekayaan.” (HR. Muslim)
Hadis ini terekam dalam Shahih Muslim, no. 2725; Sunan at-Tirmidzi, no. 3489.
Profesi haram
Konsep halal dalam Islam, tidak hanya terkait dengan makanan, tetapi luas cakupannya, termasuk pada pekerjaan (profesi), yang berdampak pada pribadi yang baik (shalih), dekat pada Allah, serta mudah bersyukur. Rasul keras mengingatkan akan pekerjaan yang tidak halal :
حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ أَخْبَرَنَا مَعْمَرٌ عَنِ ابْنِ خُثَيْمٍ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ سَابِطٍ عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لا يَدْخُلُ الجنةَ لحمٌ نَبَتَ مِنَ السُّحْتِ، وكُلُّ لَحْمِ نَبَتَ مِنَ السُّحْتِ ؛ كَانَتِ النَّارُ أَوْلَى بِهِ (رواه ابن حبان)
“Telah menceritakan kepada kami (haddatsana) Abdul Razak haddatsana Ma’mar dari Ibn Khusaim dari Abdurrahman bin Tsabit dari Jabir bin Abddullah bahwa Nabi Saw. bersabda : Tidak masuk surga, daging yang tumbuh dari harta haram. Setiap daging yang tumbuh dari harta haram, maka api neraka lebih layak baginya” (HR. Ibnu Hibban)
Hadis ini terekam dalam Shahih Ibn Hibban, no. 1723; Musnad Ahmad, no. 1441, dan dinilai shahih oleh Al-Albani dalam Silsilah Ash-Shahihah. Mengapa tersebut kalimat “daging yang tumbuh” dari harta haram? Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin dalam Liqa’ al-bab al-maftuh, berkomentar bahwa daging memberi arti yang sangat luas karena inti dari suatu pekerjaan adalah menghasilkan harta, lalu harta dibelanjakan untuk dimakan dan akhirnya menjadi daging.
Malas Bekerja
Pekerjaan yang baik adalah yang halal dan diusahakan dengan maksimal. Jika tidak, maka hasilnya pun tidak optimal. Salah satu implementasi kesyukuran atas nikmat pekerjaan yang diberikan-Nya adalah dengan memaksimalkan seluruh potensi diri untuk bekerja, bukan malah bermalas-malasan. Umar bin Khatab ra. berucap:
يَا مَعْشَرَ اْلقُراَء (أَيْ العِبَاد) اِرْفَعُواْ رُؤُوْسَكمُ،ْ مَا أَوضَح الطَّرِيْق، فَاسْتَبِقُوْا اْلخَيْرات، وَلَا تَكُونُوا كَلاً عَلَى اْلمُسْلِمِيْنَ
“Wahai para pembaca Qur’an (yaitu ahli ibadah), angkatlah kepala kalian (baca: bekerjalah!), sehingga teranglah jalan. Lalu berlombalah dalam kebaikan. Dan janganlah menjadi beban bagi kaum muslimin.”
Ucapan Umar bin Khattab ra. ini termaktub dalam kitab Musnad Ibn Abi Ja’di, no. 1921; Al-Baihaqi dalam Sunan-nya no. 544 dan dalam Syu’abul Iman no. 1257. Rajin bekerja adalah cara jitu menolak kefakiran dan implementasi dari spirit mukmin (orang beriman) yang kuat sebagaimana sabda Rasul:
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِى شَيْبَةَ وَابْنُ نُمَيْرٍ قَالاَ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ إِدْرِيسَ عَنْ رَبِيعَةَ بْنِ عُثْمَانَ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ يَحْيَى بْنِ حَبَّانَ عَنِ الأَعْرَجِ عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم الْمُؤْمِنُ القَوِيُّ، خَيْرٌ وَأَحَبُّ إلى اللهِ مِنَ المُؤْمِنِ الضَّعِيفِ، وفي كُلٍّ خَيْرٌ احْرِصْ علَى ما يَنْفَعُكَ، وَاسْتَعِنْ باللَّهِ وَلَا تَعْجَزْ، وإنْ أَصَابَكَ شيءٌ، فلا تَقُلْ لو أَنِّي فَعَلْتُ كانَ كَذَا وَكَذَا، وَلَكِنْ قُلْ قَدَرُ اللهِ وَما شَاءَ فَعَلَ، فإنَّ لو تَفْتَحُ عَمَلَ الشَّيْطَانِ (رواه مسلم)
“Telah menceritakan kepada kami (haddatsana) Abu Bakr bin Abi Syaibah dan Ibnu Numair haddatsana Abdullah bin Idris dari Rabi’ah bin Utsman dari Muhammad bin Yahya bin Habban dari al-A’raj dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah Saw. bersabda : Mukmin yang kuat, lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada mukmin yang lemah. Namun setiap mukmin itu baik. Semangatlah pada perkara yang bermanfaat bagimu, dan mintalah pertolongan kepada Allah (dalam perkara tersebut), dan jangan malas. Jika engkau tertimpa musibah, maka jangan ucapkan: andaikan saya melakukan ini dan itu. Namun ucapkan: “qadarullah wa ma sya’a fa’ala (ini takdir Allah, apa yang Allah inginkan itu pasti terjadi)”. Karena ucapan “andaikan…” itu akan membuka pintu setan” (HR. Muslim)
Hadis ini terekam dalam Shahih Muslim, no. 6945; Sunan Ibni Majah bab Fi al-Qadr, no. 4168; dan Musnad Abu Ya’la, no. 6346. Wallahu a’lam bis-shawab.
Sukahar Ahmad Syafi’i, Alumni PUTM Yogyakarta, Sekretaris Majelis Tarjih & Tajdid PDM Kab. Pati
Sumber: Majalah SM No 21-22 Tahun 2019