Langit di luar tampak kelam. Hanya beberapa bintang berani menampakkan diri di sela awan yang bergerak perlahan. Angin malam berdesir pelan, menyelinap melalui celah-celah jendela kayu yang sudah mulai keropos, membawa aroma tanah basah sisa hujan sore tadi.
Imron Rivaldi duduk bersandar di kasurnya. Pikirannya masih terjebak dalam satu pertanyaan yang kerap muncul di berbagai forum diskusi: Muhammadiyah itu Asy’ariyah atau Salafiyah?
Dari paparan Ustaz Fahmi Salim dari Majelis Tabligh PP Muhammadiyah yang ia dengarkan tadi siang, Imron merasa cukup puas. Setidaknya ada tiga kesimpulan yang bisa ia tarik.
Pertama, Muhammadiyah tetap bagian dari keluarga besar ahlu al-sunnah wa al-jamaah. Kedua, Muhammadiyah tidak secara resmi terikat pada satu mazhab fikih maupun akidah tertentu. Ketiga, Muhammadiyah lebih sibuk mengurusi amal nyata daripada tenggelam dalam debat teologis yang tak berkesudahan.
Namun, tetap saja ada pihak-pihak yang kurang puas. Bagi mereka, pertanyaan itu harus memiliki jawaban pasti: kalau bukan Asy’ariyah, yaa berarti harus Salafiyah. Imron susah memahami mengapa banyak orang terjebak dalam logika biner seperti ini.
Bagi kalangan Asy’ariyah, Kitab Iman dalam HPT memuat sifat-sifat Allah sebagaimana umumnya dalam sifat 20. Sementara bagi kalangan Salafiyah, Kitab Iman cenderung lebih sederhana: akidah dijelaskan langsung melalui ayat-ayat dan hadis, tanpa banyak perincian filosofis.
Akibatnya, muncullah dua kutub yang berusaha menafsirkan HPT sesuai dengan kecenderungan masing-masing. Beberapa bahkan mulai menulis syarah (penjelasan) HPT yang mendekatkannya pada Asy’ariyah atau justru pada Salafiyah.
Pintu kamar tiba-tiba berderit keras, memecah kesunyian. Malik Senja Ramadan mendorong pintu dengan bahu. “Belum tidur? Masih mikirin Muhammadiyah, ya?” tanya Malik lalu selonjoran di lantai dekat Imron, tak peduli karpetnya berdebu.
“Iya, Lik. Habis baca lagi soal HPT sama syarah-syarahnya. Kocak sih, ada yang maksa harus ada ‘syarah resmi’ dari Majelis Tarjih. Kayak negara aja, semua harus distempel formal.”
“Bukan kocak, Mron, tapi perlu.”
“Dalam sejarah intelektual Islam, enggak ada yang namanya ‘syarah resmi’ dan ‘tidak resmi’. Yang ada itu otoritatif atau enggak, Lik.”
“Tapi tanpa syarah resmi, Muhammadiyah ini cuma jadi kapal tanpa kemudi. Kalau urusan ada ‘kelompok tertentu’ yang nyusup ke Amal Usaha Muhammadiyah beneran jadi ancaman, ya harus ada kejelasan posisi dong. Asy’ariyah atau Atsariyah. Pilih satu. Enggak bisa cuma bilang ‘kami independen’ terus selesai. Itu naif. Dunia nyata butuh garis tegas, bukan abu-abu.”
Imron mengerutkan kening, nada Malik yang memaksa langsung membuatnya waspada. “Enggak naif, Lik. Justru independensi ini yang bikin Muhammadiyah kuat. HPT udah jelas: akarnya Ahlus Sunnah, tapi enggak terikat mazhab. Maksa syarah resmi buat milih Asy’ariyah atau Atsariyah cuma bakal potong akar fleksibilitasnya. Kita jadi kaku, malah gampang dilupain sejarah.”
“Fleksibilitas? Itu cuma kedok buat ngeles, Mron. Tanpa posisi tegas, Muhammadiyah bakal terus jadi bulan-bulanan. Kelompok yang ribut ini enggak bakal terima kalau Muhammadiyah bilang ‘kami punya poros sendiri’. Itu cuma bikin mereka makin agresif. Realitasnya, enggak milih sama aja lemah.”
“Salah,” Imron memotong tajam, suaranya meninggi sedikit. “Enggak milih bukan lemah, tapi strategi. Poros sendiri itu bukan cuma jargon, Lik. Liat syarah HPT yang ada sekarang, ada yang narik ke Atsariyah, Asy’ariyah, bahkan Mu’tazilah. Itu bukti Muhammadiyah hidup, bisa dialog sama semua tanpa kehilangan jati diri. Kalau dipaksa milih, kita malah jadi alat pihak lain. Atsariyah menang, Asy’ariyah ngamuk. Sebaliknya juga sama. Perpecahan yang kamu takutin malah bakal jadi nyata.”
“Dialog sama semua? Itu cuma ilusi idealis, Mron. Dunia enggak seindah itu. Kalau Muhammadiyah enggak milih Atsariyah atau Asy’ariyah, kelompok tertentu bakal manfaatin kebuntuan ini buat nyusup lebih dalam. Syarah resmi yang tegas, misalnya bilang ‘kami Asy’ariyah’, bisa jadi benteng. Praktis, efisien. AUM aman, titik. Kamu bilang perpecahan? Justru abu-abu ini yang bikin orang bingung dan akhirnya cabut.”
“Praktis buat siapa, Lik? Kamu pikir milih Atsariyah bakal selesai gitu aja? Jutaan warga Muhammadiyah yang biasa sama pendekatan Asy’ariyah bakal protes. Terus apa? AUM yang kamu bela malah bakal retak dari dalam. Syarah resmi yang maksa milih itu bukan benteng, tapi bom waktu. Aku malah lihat kekuatan di syarah yang beragam ini, HPT jadi jembatan, nyambung ke komunitas lain, digali dari banyak sudut, dan nyampe ke jaringan yang lebih luas. Itu visi, bukan kebuntuan.”
“Visi apa? Itu cuma teori kampus, Mron. Jembatan ke semua orang? Realitasnya, tanpa garis tegas, Muhammadiyah bakal terus digoyang. Kelompok yang sengketa ini enggak nyaman karena mereka tahu abu-abu ini gampang ditembus. Pilih satu aja, Asy’ariyah atau Atsariyah, biar jelas musuhnya siapa, sekutunya siapa. Kalau enggak, kita cuma jadi penutup mata di tengah perang akidah.”
“Musuh dan sekutu? Itu logika perang, Lik, bukan Muhammadiyah. Kita enggak di sini buat tarik garis musuh. HPT enggak butuh syarah resmi yang maksa milih, karena kekuatannya justru di kemampuan berdiri di tengah. Bukan abu-abu yang lemah, tapi poros yang dinamis. Liat sejarahnya, Muhammadiyah bertahan karena enggak jadi pion siapapun. Maksa milih cuma bakal bikin kita alat orang lain, bukan pelaku utama. Dan itu, Lik, yang bikin kita kalah.”
Malik mengangguk pelan, tapi matanya masih menyiratkan ketidakpuasan. “Sebenarnya, Mron, aku enggak begitu ngerti apa itu Asy’ariyah, Salafiyah, atau Atsariyah. Aku cuman pakai pikiran kaum modernis yang semuanya harus serba ada versi resmi. Jadi, aku bingung kenapa kamu sebegitu yakinnya sama posisi abu-abu ini.”
Imron tersenyum tipis, sedikit lega mendengar pengakuan Malik. “Lik, kalau kamu enggak ngerti, ya wajar. Banyak yang ribut soal ini juga kadang cuma ikut-ikutan. Tapi aku jelasin simpel aja, ya.”
“Okay, jelasin, Mron!”
“Buat Muhammadiyah, persoalan akidah itu udah selesai. Titik. Mereka enggak mau terjebak dalam debat teologis yang enggak ada ujungnya. Misalnya, Allah itu bersemayam di atas ‘Arsy atau enggak? Allah punya tangan dalam arti harfiah atau cuma kiasan? Itu debat tua, Lik, udah ratusan tahun umurnya. Dari zaman Imam Asy’ari, Imam Ahmad, sampe sekarang, orang masih ribut soal itu. Muhammadiyah bilang, ‘udah cukup’. Kita enggak perlu ngulang-ngulang pertanyaan yang jawabannya enggak bakal bikin semua orang puas.”
“Jadi maksudnya, Muhammadiyah enggak peduli soal akidah, Mron?”
“Bukan enggak peduli, tapi mereka enggak mau habisin energi buat nentuin detil-detil yang cuma jadi amunisi debat kusir. Asy’ariyah bilang sifat Allah harus ditafsir dengan logika, Salafiyah atau Atsariyah bilang ambil harfiah dari teks aja tanpa banyak tanya. Muhammadiyah? Mereka ambil jalan tengah: akidah dari Al-Qur’an dan Hadis, disesuaikan sama kebutuhan zaman, tapi enggak ngotot masuk ke ranah yang cuma bikin orang taklid buta atau malah musuhan. Fokusnya ke yang nyata, Lik. Pendidikan, kesehatan, sosial. Itu yang bikin Muhammadiyah beda.”
“Jadi, intinya mereka males ribut soal Tuhan punya tangan atau enggak?”
“Bukan males, Lik. Mereka sadar itu enggak produktif. Bayangin, kalau kita stuck ngomongin apakah ‘tangan Allah’ itu beneran tangan atau cuma simbol, apa yang berubah? Sekolah enggak nambah, rumah sakit enggak berdiri, orang miskin enggak keangkat hidupnya. Muhammadiyah pilih gerak ke arah yang kasat mata, yang bisa disentuh hasilnya. Makanya HPT enggak dirancang buat jadi kitab teologi yang kaku.”
“Jadi, abu-abu ini bukan lemah, tapi sengaja?”
“Dugaanku begitu. Ini bukan abu-abu yang bingung, tapi poros yang dinamis. Muhammadiyah enggak mau jadi pion di papan catur orang lain, entah itu Asy’ariyah, Atsariyah, atau siapapun. Mereka bikin papan sendiri, main sendiri, dan menang dengan cara sendiri. Sejarah buktiin, Lik. Organisasi ini bertahan lebih dari seabad bukan karena ikut-ikutan, tapi karena punya visi yang lebih gede dari sekadar debat akidah.”
“Yah, setidaknya malam ini aku jadi agak ngerti. Tapi tetap aja, Mron, aku suka bikin panas suasana. Besok kita ribut lagi soal apa?”
“Besok kita mudik, mendiing tidur.”
“Bentar dulu, Mron, tidur versi Asy’ariyah atau Salafiyah nih?”
“Versi Lembaga Survei Indonesia, Lik!”
#KontrakanImron