MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA – Keberadaan Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah (PCIM) Jerman Raya yang berada di negara sekuler menghadirkan tantangan sekaligus peluang, ungkap Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Haedar Nashir dalam Halalbihalal PCIM Jerman Raya, Sabtu petang (29/4). Karenanya, Haedar memberikan sekian pegangan.
Pertama, konteks masyarakat Eropa yang sekuler dan multikultural diharapkan menjadi pemicu PCIM Jerman Raya supaya terus berusaha menghadirkan Islam yang Berkemajuan dengan ciri khasnya seperti wasathiyah, modern, good governance, dan adopsi ilmu pengetahuan, teknologi dan sains.
“Di sanalah Islam Berkemajuan sebetulnya bisa hadir. Jadi kalau kita terjemahkan wa kadzalika ja’alnaka ummatan wasatan, ini wasathiyah Islam, Islam yang damai, ramah, inklusif, baik, serba utama, tapi itu tidak cukup. Harus li takunu syuhada’a alan nas. Kita jadi saksi bagi peradaban umat manusia di manapun. Kata kuncinya kemajuan, progres dengan berbagai dimensi dan pilarnya,” pesannya.
“Nah kita harus menjadi insan yang berpikirnya maju, pro sains, juga mengembangkan IPTEK, sistem dan lain sebagainya. Dan InsyaAllah Muhammadiyah cukup kuat punya fondasi itu. Organisasi kita ini sistemnya cukup baik dan mapan, alam pikirnya sudah kita bangun sejak awal, dan umat Islam dari manapun sekarang berpikirnya kan juga maju. Tinggal dialog agar penggunaan IPTEK lebih-lebih menghadapi realitas alam semesta yang eksak memerlukan kerangka berpikir yang setara dengan itu,” imbuhnya.
Terkait kondisi masyarakat Eropa yang sekuler, menurut Haedar perlu dipahami secara kontekstual. Sekulerisme yang antroposentris dan terjadi di Eropa menurutnya adalah bentuk ekstrimitas sebagai respon atas ekstrimisme sebelumnya (teosentrisme).
Untuk mendakwahkan ajaran Islam, maka paham wasathiyah Islam atau Islam Tengahan (Islam moderat) harus menjadi pedoman dalam keseharian kaum muslimin di sana. Akan tetapi, Haedar berpesan agar Wasathiyah Islam itu otentik dan tidak menjadi ekstrim baru yang serba permisif.
“Nah Wasathiyah Islam itu bisa hadir dalam dua ekstrimisme itu, tapi kita sering ragu pada konsep wasathiyah itu karena dibawa ke mana-mana juga. Ada yang terlalu ditarik ke kanan atau kiri, lalu kita berdebat soal itu. Ada yang tidak setuju moderasi dan lain-lain. Di tubuh umat Islam sendiri perlu dialog meski fondasinya di dalam Islam, (wasathiyah) sudah kokoh,” jelasnya.
“Nah untuk menghadirkan itu perlu perspektif yang luas, mendalam, dan kita, juga teman-teman muslim lain tentu bisa berdialog bagaimana menghadirkan Islam yang wasatiyah tapi juga bisa mengatasi berbagai ekstrimitas itu dan tidak melahirkan ekstrimisme baru. Jadi jangan sampai atas nama wasathiyah kita menghadirkan ekstrimitas baru. Di sanalah perlu kedalaman, perlu dialog, bahkan perlu introspeksi juga. Jangan-jangan pemikiran-pemikiran kita perlu pembaruan,” tutup Haedar. (afn)
Direpublikasi dari sumber asli di https://muhammadiyah.or.id/jangan-hadirkan-ekstrimisme-baru-atas-nama-islam-wasathiyah-karena-itu-harus-otentik/