Oleh: Ilham Ibrahim
Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah internasional merupakan fakta sekaligus aspirasi. Disebut fakta sebab Muhammadiyah telah berperan aktif dalam penanganan bencana di tingkat internasional; terlibat dalam resolusi konflik di Filipina; mendirikan lembaga pendidikan di Australia dan Malaysia; berdirinya PCIM di lima benua; dan seni Tapak Suci menjadi medium dakwah di Mesir dan Jerman.
Meski demikian, internasionalisasi Muhammadiyah tetap menjadi aspirasi hingga saat ini. Dalam memenuhi aspirasi ini, mengenali tantangan global dakwah Islam mesti menjadi perhatian Muhammadiyah untuk menawarkan konsep alternatif. Singkatnya, konsep apa yang akan hendak dijual Muhammadiyah secara khusus dan umat Islam secara umum di panggung internasional?
Tantangan Global Dakwah Islam
Anggota Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, Muhammad Rofiq Muzakkir, mengungkapkan bahwa tantangan dakwah Muhammadiyah secara khusus dan Islam secara umum saat ini adalah alpanya kontribusi Islam dalam menata dunia. Hal ini mungkin diakibatkan dari modernisasi dan kolonisasi yang melahirkan konsep negara-bangsa sehingga menyekat komunitas Islam. “Sebelum zaman modern, Islam memberi warna yang sangat dominan kepada tatanan dunia,” ungkapnya dalam diskusi rangkaian Milad SMAMIO pada Selasa (02/02).
Dalam diskursus studi Islam, ada yang dinamakan dengan Islamdom. Istilah tersebut lahir dari seorang sejarawan dari Universitas Chicago Marshall Hodgson. Rofiq menerangkan bahwa Islamdom berarti kawasan yang berada pengaruh kekhilafahan Islam, meski saat itu mayoritas penduduknya bukan beragama Islam. Selain istilah Islamdom, ada juga term Islamicate, yang berarti kebudayaan populer yang terinspirasi dari Islam. “Misalnya fenomena orang yang ingin tampil seperti orang Islam. Mereka berjubah, memakai gaun,” tutur Rofiq.
Tidak hanya dalam estetika fashion, Islamicate juga merambah pada sisi pemikiran. Rofiq mencotohkan bagaimana saat abad pertengahan, seorang filsuf Yahudi yang bernama Musa bin Maimun, yang dalam ujaran latin sering dikenal dengan Maimonides, pernah menulis satu kitab berjudul Dalalat al-Ha’irin (Petunjuk bagi orang yang mengalami kebingungan). Penulisan kitab tersebut, ungkap Rofiq, terpengaruh filsafat Islam. Moimonides hanya satu contoh bagaimana sebelum datangnya abad modern, filsafat Islam mempengaruhi cara pikir penduduk dunia.
Hari ini, ungkap Rofiq, legasi pemikiran Islam itu sudah terkikis melalui proses modernisasi dan kolonisasi. Adanya modernisasi dan kolonisasi bukan hanya bersifat struktural-material, tapi yang lebih penting dari itu bersifat epistemik. Ekspansi dunia Barat bukan hanya menghapus memori umat Islam tentang bagaimana di masa lalu epistemologi Islam bekerja, tapi juga telah menempatkan bangsa Barat sebagai satu-satunya pusat rujukan (the only referent) dalam pikiran umat Islam. “Ini fenomena yang harus kita akui secara kritis”, ungkapnya.
Selain tidak adanya kontribusi Islam dalam menata dunia, dunia Islam juga tidak memiliki visi universalisme pandangan dunia Islam. Rofiq mengungkapkan bahwa dunia Islam saat ini tidak memiliki visi borderless (tanpa batas) dan hanya sebatas fenomena lokalitas atau nasionalitas. Jangkauan dakwah hanya terfokus pada ruang lingkup tertentu yang sangat kontras dengan ideologi-ideologi besar dunia yang memiliki visi global dan memutus sekat-sekat geografis.
Contohnya, paket lengkap pandangan dunia liberal. Dalam ideologi liberal, kehendak bebas individu menjadi tolak ukur segala nilai. Akhirnya secara politik, liberalisme percaya bahwa pemilih tahu yang terbaik dan menggunakan demokrasi sebagai sistemnya; secara ekonomi, liberalisme percaya bahwa pelanggan selalu benar dan menunjuk kapitalisme beserta turunannya sebagai konsepnya; dan secara individu, liberalisme mendorong seseorang untuk percaya pada suara hati dan memilih Hak Asasi Manusia sebagai payungnya.
Paket lengkap liberalisme yang terdiri dari demokrasi, kapitalisme (pasar bebas), dan HAM ini secara percaya diri disebar ke seluruh dunia, menghapus perbatasan nasional dan menjadikan manusia sebagai komunitas global. Sehingga Pada tahun 1990an Francis Fukuyama dalam bukunya yang terkenal, The End of History, menyebut bahwa manusia sepenuhnya akan bergerak pada satu titik, yaitu titik liberalisme. “Dari sinilah lahir kolonialisme, penjajahan, dan lain-lain, karena ada misi memberadabkan dunia,” tutur Rofiq.
Karena itulah, saat ini yang diperlukan adalah kepercayaan diri setiap umat Islam untuk menawarkan Islam sebagai entitas peradaban (Islam as a civilizational entity). Jadi, Islam bukan hanya fenomena lokal atau nasional, namun mendudukannya sebagai tawaran peradaban. “Setiap muslim harus memiliki visi dakwah global,” tegas mahasiswa yang sekarang menumpuh pendidikan doktoral di Arizona University ini.
Dasar Teologis Amal Peradaban
Konsep kunci Amal Peradaban terdapat dalam QS Al Baqarah ayat 143, yaitu konsep ummah, wasathiyyah, dan syuhada. Ummah berarti komunitas global yang memiliki kesamaan dalam aspek keyakinan dan sejarah sebagai sistem referensi. Sifat dari konsep ummah ini tidak dibatasi oleh identitas geografis dan etnis. Tentu hal ini berbeda dengan terma qabilah dan sya’ab yang berdimensi partikular, ummah memiliki dimensi global.
Sementara konsep wasath yang berarti lurus (I’tidal) atau seimbang (tawazun). Rofiq mengutip pandangan mufassir terkait makna wasath ini. Satu pendapat klasik mengatakan bahwa wasath adalah keseimbangan antara kecenderungan spiritualitas dan kecenderungan materialistis. Sementara mufassir lain yang muncul setelah era Perang Dingin mengatakan bahwa wasath berarti posisi tengah antara kapitalisme dan sosialisme.
Rofiq mengungkapkan titik temu antar mufassir tentang wasath yang sejatinya membentuk sebuah konsep utuh. Dengan demikian, wasathiyyah merupakan jalan alternatif dari semua ideologi baik yang kanan ekstrem maupun kiri ekstrem. Konsep “tengahan” ini juga sesungguhnya memiliki filosofi yang mendalam. Artinya, orang harus tahu peta konstalasi dan realitas empirik. “Sehingga umat Islam ini harus melek, dan jadi agen solutif bagi dunia,” tambah Rofiq.
Selain umat dan wasath, konsep syahadah juga penting sebagai penopang Amal Peradaban. Rofiq menjelaskan bahwa syahadah berarti hadhara (hadir), mu’ayanah (melihat), al-imanu bi al-qalbi wa al-‘amalu bi al-arkan (keimanan dalam hati yang diikuti dengan perbuatan), dan dakwah. “Dengan demikian, syahadah sesungguhnya bermakna kita harus berkontribusi pada dakwah global,” tutur Rofiq.
Dari ketiga kata kunci di atas yaitu ummah, wasath, dan syahadah, Muhammadiyah mengenalkan konsep Dar al-Ahdi wa al-Syahadah. Rofiq menunjukkan bahwa Daru al-Ahdi wa al-Syahadah sesungguhnya bukan hanya konsep untuk ruang lingkup Indonesia, tetapi juga dapat menjadi sarana alternatif di antara gagasan-gagasan ideologi besar yang ada di dunia. Muhammadiyah yang telah memiliki sejumlah jaringan di luar negeri sesungguhnya dapat mengkampanyekan konsep Daru al-Ahdi wa al-Syahadah sebagai tawaran Islam dan visi global untuk membentuk dunia yang lebih baik.
Editor: Fauzan AS