Oleh Prof Dr H Haedar Nashir, MSi
Muhammadiyah dikenal sebagai organisasi Islam yang mengedepankan kualitas. Jumlah anggotanya tidak sebanyak organisasi Islam tradisional. Menurut survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) tahun 2019 terhadap 1200 responden menunjukkan mereka yang merasa terafiliasi dengan Muhammadiyah hanya sekitar 4,3%, jauh dibanding yang berafiliasi kepada Nahdlatul Ulama 49,5%; sedangkan Ormas lain 1,3%; PA212 0,7%; dan FPI 0,4%.
Survei sebagai metode pengumpulan data memang memiliki kelemahan dan sering disalahgunakan oleh pihak yang berkepentingan. Jumlah simpatisan apalagi anggota NU pun masih dapat dipertanyakan akurasi kenyataannya, karena waktu Megawati Soekarnoputri (PDIP) berpasangan dengan Hasyim Muzadi (NU) yang konon mewakili dua arus besar pengikut di Indonesia hanya meraih 26,24%. Keduanya kalah oleh Susilo Bambang Yudhoyono berpasangan dengan Jusuf Kalla yang unggul 33,58% saat itu.
Kontestasi politik tentu memiliki logika dan dinamika sendiri. Jumlah pengikut setiap Ormas juga belum dapat dipastilan angka konkret yang akurat, kaena belum ada sensus yang dapat dijadikan rujukan bersama. Lebih-lebih dengan survei yang hanya sekali dan terbatas. Namun penting pula Muhammadiyah bertanya ke dalam dirinya. Seberapa banyak anggota dan simpatisan Muhammadiyah saat ini. Makin bertambah, konstan, atau malah berkurang?
Angka 4,3% hasil LSI tidak ada salahnya dijadikan patokan awal, secara kuantitas pengikut Muhammadiyah tidaklah banyak. Pertanyaannya, kenapa warga yang mengikuti Muhammadiyah sedikit, sementara yang lain banyak? Bagaimana sebaiknya Muhammadiyah menyikapi dan mengambil langkah agar kian banyak warga bangsa yang selain percaya dan menghargai kualitas gerakan Muhammadiyah, pada saat yang sama mau menjadi anggota atau simpatisan Gerakan Islam ini.
Reorientasi Gerakan
Muhammadiyah dalam aspek kualitas, amal usaha, dan keterpercayaan moral di mata masyarakat luas terbilang baik. Sumberdaya manusia Muhammadiyah dikenal unggul, meskipun saat ini dalam beberapa bidang mungkin mulai ketinggalan. Kehadiran karya nyata Muhammadiyah sangat dirasakan oleh masyarakat luas, termasuk dari golongan agama yang berbeda. Masyarakat memandang Muhammadiyah secara positif. Nilai lebih tersebut harus terus dipertahankan dan perlu dikapitalisasi agar semakin lebih positif dan konstruktif.
Namun kenapa warga yang berafiliasi terhadap Muhammadiyah tidaklah besar? Muhammadiyah dalam hal ini perlu bermuhasabah, terutama tentang pola dakwah atau tabligh dan sikap kemasyarakatan-kebangsaan. Siapa tahu terdapat kelemahan di tubuh Muhammadiyah. Jangan selalu memandang negatif organisasi lain yang banyak memperoleh dukungan dalam praktik keagamaan di masyarakat luas. Mana yang benar-benar prinsip dalam beragama dan mana yang cabang dan ranting atau furu’, sehingga dalam materi dakwah dapat dibedakan dan dipilah-pilah untuk menentukan cara yang tepat sasaran.
Pertama tentang pola dakwah atau tabligh. Muhammadiyah dikenal dengan gerakan “TBC” yakni pemberantasan tahayul, syirik, bid’ah, dan churafat. Sejatinya agak susah menelusuri sejak kapan gerakan “TBC” itu hadir di Muhammadiyah. Sependek pengetahuan penulis, di era Kyai Haji Ahmad Dahlan tidak menggema isu dan istilah “TBC” tersebut. Kyai Dahlan memang melarang pengeramatan kuburan, tapi tidak disertai gerakan konfrontasi. Apalagi seperti yang dilakukan Muhammad Bin Abdil Wahhab dengan menghancurkan bangunan-bangunan kuburan.
Boleh jadi pola dakwah “TBC” itu datang kemudian, terutama sedikit atau banyak terpengaruh oleh gerakan “pemurnian” di kepulauan Nusantara yang dikenal “gerakan kaum putih” yang bercorak “Wahabbiyah”. Buku-buku tentang Kemuhammadiyahan ketika menyebut Muhammadiyah sebagai Gerakan Tajdid Fil-Islam atau Pembaruan kuat dimaknai sebagai “pemurnian”. Muhammadiyah saat itu menjadi tampak keras dan sering terlibat dalam konflik keagamaan soal “TBC”. Muhammadiyah menjadi sangat puritan. Puritanisasi hitam-putih dengan tafsir bayani, kurang disertai burhani dan irfani. Sasaran dakwah kemudian menjadi menjauh.
Akibat dari gerakan “TBC” dan “pemurnian” tersebut, para da’i, kader, pimpinan Muhammadiyah menjadi sangat puritan. Pemurnian Islam tentu posiitif dalam hal menjaga akidah, ibadah, dan akhlak. Tetapi ketika gerakan pemurnian tersebut kurang dipahami secara bayani, burhani, dan irfani secara wasathiyah dapat melahirkan sikap keras, kaku, dan monolitik dalam berdakwah. Sebagian pihak secara serampangan menjuluki Muhammadiyah Wahabi. Padahal Muhammadiyah sejak berdirinya tidak ada kaitan dan sangat berbeda dengan Wahabi.
Seiring dengan berkembanganya Manhaj Tarjih bahwa tajdid itu purifkasi dan dinamisasi serta pendekatan memahami dan mengamalkan Islam secara bayani, burhani, dan irfani maka diperlukan reorientasi gerakan. Khususnya dalam pola dakwah dan tabligh Muhammadiyah agar lebih memahami realitas keragaman masyarakat, budaya, dan orientasi kehidupan mereka. Dakwah Kultural hasil Tanwir Denpasar 2002 serta Dakwah Komunitas hasil Muktamar Makassar tahun 2015 penting menjadi rujukan dalam reorientasi gerakan dakwah Muhammadiyah. Penting mengembangkan orientasi gerakan wasathiyyah Islam yang semakin inklusif agar kian luas daya jelajah dan penerimaan masyarakat dari berbagai golongan dan latarbelakang yang heterogen terhadap Muhammadiyah.
Pendekatan Kebangsaan
Bagaimana dengan sikap kebangsaan Muhammadiyah? Muhammadiyah berada dalam jalur yang benar mengenai peran kebangsaan dengan memposisikan diri secara konsisten sebagai ormas keagamaan dan kemasyarakatan sejalan Kepribadian dan Khittah gerakannya. Posisi dan peran kebangsaan tersebut dijalankan secara elegan sehingga Muhammadiyah tidak terjebak pada politik partisan dan memungkinkan dapat berada di mana-mana dalam kehidupan politik kebangsaan. Kepercayaan umum terhadap Muhammadiyah karena sipak politik kebangsaannya itu cukup besar dan positif yang harus dirawat dengan seksama.
Modal positif ini penting dikapitalisasi dan diakselerasikan secara lebih luas. Muhamamdiyah sejalan Kepribadian Muhammadiyah 1962, Khittah Denpasar 2002 dalam “Berbangsa dan Bernegara”, serta pemikiran “Negara Pancasila Darul Ahdi Wasyahadah” mesti makin moderat dan inklusif dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Muhamamdiyah tidak tertutup, kaku, dogmatis, dan ekstrem dalam kehidupan kebangsaan. Anggota, kader, dan pimpinan di seluruh tingkatan dan lini juga harus menunjukkan sikap tengahan, terbuka, dan mengikuti koridor organisasi dalam menyikapi isu-isu kebangsaan dengan menahan diri dan tidak bersikap sendiri-sendiri.
Politik kebangsaan Muhammadiyah adalah politik nilai yang membawa pesan-pesan luhur keislaman yang berintegrasi dengan keindonesiaan untuk membangun kehidupan yang semakin baik menuju terwujudnya Indonesia berkemajuan yang bersatu, berdaulat, adil, dan makmur. Menurut butir kelima Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah terwujudnya Indonesia yang berdasarkan Pancasila yang Baldatun Thayyibatun Warabbun Ghafur. Orientasi kebangsaan tersebut didasarkan pada pandangan dan kepentingan organisasi, bukan berdasarkan penafsiran individual.
Dakwah “Amar Ma’ruf Nahi Munkar” (AMNM) dalam kehidupan kebangsaan penting diterjemahkan dan dipraktikkan dalam orientasi baru secara mendalam (subtantif) dan luas (inklusif) dikaitkan dengan koridor Khittah, Kepribadian, dan Negara Pancasila Darul Ahdi Washayahadah. Pendekatannya tidak ekstrem, garang, hitam putih, subjektif individual, dan serba konfrontasi yang membuat sasaran dakwah kebangsaan semakin menjauh, alergi, dan antipati. Pendekatan “AMNM” mesti dilakukan secara bayani, burhani, dan irfani sekaras perintah Allah dengan “Bil-hikmah, wal mau-idhat al-hasanah wa jadil-hum bi-laty hiya ahsan” (QS An-Nahl: 125) disertai keteladanan yang baik mengikuti Uswah Hasanah Nabi.
Amar Ma’ruf maupun Nahi Munkar mesti ditunaikan seimbang dan mengikuti kaidah dakwah. Tidak benar nahi munkar lebih sulit daripada amar ma’ruf, keduanya sama ada yang mudah ada yang sulit. Tidak tepat pula bila ada orang mengklaim dirinya hanya bertugas nahi munkar, dengan selera subjektivitasnya, tanpa amar ma’ruf. Semuanya perlu ditunaikan dengan pendekatan dakwah menghadapi keragaman situasi dan sasaran dakwah secara organisasi dan mempertimbangkan kepentingan Muhammadiyah. Selain misi dakwah, Muhammadiyah juga bermisi tajdid. Diperlukan misi tajdid untuk perbaruan kehidupan, mengembangkan pemikiran maju, serta membangun berbagai bidang kemajuan. Membangun kemajuan itu sangat berat yang memerlukan “badlul juhdi” (jihad fi-sabilillah) untuk mewujudkan peradaban berkemajuan.
Kini penting dikembangkan dakwah kebangsaan bermisi “AMNM” maupun tajdid mengikuti “Pandangan Keagamaan” dalam “Pernyataan Pikiran Muhamamdiyah Abad Kedua” hasil Muktamar Yogyakarta tahun 2010 yaitu memgubah pendekatan “Lil-mu’aradlah” (reaktif konfrontatif) dengan “Lil-muwajjahah” (proaktif konstruktif). Kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara penting memggunakan pendekatan bayani, burhani, dan irfani secara interkoneksi sehingga mendalam, luwes, luas, inklusif, dan tepat sasaran. Koridornya mengikuti organisasi, bukan berdasarkan selera individual yang dipengaruhi subjektivitas. Pendekatan moderat atau tengahan (wasathiyyah) menjadi bagian penting dari transformasi dakwah kebangsaan tersebut agar Muhammadiyah semakin meluas, terbuka, dan diterima sebanyak mungkin masyarakat luas di Indonesia!
Sumber: Majalah SM Edisi 22 Tahun 2021