Karya tulis itu tanda intelektualitas seseorang, bukan gelar pendidikan, apalagi sekadar jabatan. Menulis adalah aktivitas yang mencerdaskan. Menuliskan rangkuman atau ringkasan ide-ide bagus, misalnya, dapat mendorong kita berpikir, meneliti, atau menggali sesuatu yang lebih mendalam. Apalagi jika sampai menuliskan karya besar yang menuntut kita mencari dan mengembangkan ide-ide dengan merujuk berbagai literatur dan data. Menulis membantu kita menghilangkan sindrom “gampang di kepala namun susah di mulut”.
Prof Ahmad Syafii Maarif, guru bangsa yang berpulang pada hari Jumat tanggal 27 Mei 2022 pukul 10.15 WIB di RS PKU Muhammadiyah Gamping dikenal sebagai cendekiawan besar yang sangat aktif membaca, berpikir, meneliti, dan menulis sepanjang hidupnya. Sangat mudah menjumpai tulisan-tulisan Buya Syafii Maarif di berbagai media massa, jurnal, dan buku. Saya mencatat beberapa pesan literasi yang kerap disampaikan Buya Syafii Maarif dalam berbagai kesempatan.
Menurut Buya Syafii Maarif, membaca, berpikir, meneliti, dan menulis adalah aktivitas yang sangat penting, dan sebaiknya ditekuni sepanjang hidup. Ijazah pendidikan itu ibarat SIM yang tidak bermakna apa-apa tanpa ditopang dengan keempat aktivitas ilmiah di atas.
Pesan Buya Syafii Maarif tersebut mengingatkan saya pada ungkapan Prof Imam Suprayogo, Rektor UIN Maulana Malik Ibrahim Malang Periode 1997-2013. Menurut Prof Imam, ciri khas seorang doktor adalah selalu berpikir dan berkreasi tentang pembaruan. Seorang doktor tidak pernah berhenti berpikir. Tatkala dia berhenti berpikir, terang Prof Imam, yang tersisa hanya gelarnya. Sedangkan substansinya sudah kembali jadi manusia biasa atau sama dengan orang yang tidak bergelar doktor.
Senada dengan dua guru besar yang sangat produktif berkarya tulis tersebut, Dr Airlangga Pribadi, seorang dosen di Universitas Airlangga Surabaya, bahkan menyatakan bahwa tidak ada keutamaan seorang doktor dibandingkan yang lain tanpa teruji oleh karya. Banyak mereka yang tidak bergelar doktor tetapi punya karya yang lebih dahsyat dari seribu doktor. Menurutnya, narasi keutamaan doktor dibandingkan yang lain tanpa dibuktikan oleh karya adalah konstruksi orientalisme.
Pesan-pesan di atas adalah benar belaka. Dalam kenyataan sehari-hari, tampak sekali bahwa bedanya orang yang sekolah tinggi dengan yang tidak adalah terletak pada urusan membaca, berpikir, meneliti, dan menulis. Biarpun gelar pendidikan berderet, tetapi kalau malas membaca, enggan berpikir, jarang meneliti, dan tidak pula terampil menulis, maka akan tetap kalah dengan yang tidak sekolah tinggi-tinggi namun rajin membaca, gemar berpikir, tekun meneliti, dan terampil menulis.
Dalam konteks berkarya tulis, Buya Syafii Maarif menggandengkan aktivitas menulis dengan membaca. Ya, menulis memang tidak boleh dipisahkan dari membaca. Lebih baik tidak menulis ketimbang tidak membaca. Menulis tanpa membaca itu berbahaya.
Buya Syafii Maarif juga berpesan bahwa membaca tidak boleh sekadar kuantitatif, tetapi harus juga kualitatif. “Membacalah yang banyak,” tutur Buya Syafii Maarif, “kemudian kembangkan gaya tulisan kita sendiri.” Pesan ini sangat penting. Problem serius seorang penulis adalah malas membaca. Padahal, tulisan penulis yang tidak membaca biasanya kering dan tidak berbagi ilmu, kecuali hanya bermain kata-kata tanpa makna.
Selain itu, aktivitas menulis, apalagi dilakukan secara istikamah, juga terbilang sangat tidak mudah dan belum menjadi tradisi kita. Jangankan menulis, bahkan membaca belum menjadi hobi masyarakat kita, termasuk sebagian penyandang gelar pendidikan tinggi. Kebanyakan kita tampaknya lebih senang berbicara.
Bahkan, tradisi menonton dan mendengar lebih dominan dibandingkan tradisi membaca dan menulis. Yang lebih menyedihkan, lembaga-lembaga pendidikan kita juga lebih banyak melahirkan pembicara dan penceramah daripada pembaca, pemikir, peneliti, dan penulis. Padahal, syarat kelulusan sekolah-sekolah tinggi, mulai jenjang sarjana hingga doktor, adalah karya tulis: skripsi, tesis, disertasi.
“Ketika kita aktif menyebarkan pikiran-pikiran melalui karya tulis,” pesan Buya Syafii Maarif, “disalahpahami orang adalah hal biasa, wajar. Saya sendiri kerap mengalaminya. Yang penting niat kita baik dan benar.”
Kepada generasi muda, dalam beberapa kesempatan, Buya Syafii Maarif juga menyampaikan pesan menarik: “Kedua kaki kita boleh berpijak di Indonesia, namun wawasan harus mendunia.” Generasi muda selalu didorong untuk belajar bahasa asing dan membaca yang banyak. Dengan membaca, kata Buya Syafii Maarif, kita bisa berkelana ke mana-mana.
Pergaulan di zaman sekarang tidak cukup lagi hanya bermodal kepercayaan diri. Menurut Buya Syafii Maarif, kepercayaan diri memang penting, namun harus didukung dengan ilmu yang memadai. Buya Syafii Maarif lantas menegaskan bahwa wawasan mondial dan kosmopolitan itu penting sekali. “Kalau perlu, curilah waktu tidur Anda untuk membaca. Membaca Al-Qur’an serta membaca yang lain-lain. Jangan terlalu banyak bersantai-santai, karena tantangan yang berada di hadapan kita amatlah berat,” pesannya lagi.
Dalam pandangan Buya Syafii Maarif, Al-Qur’an tidak hanya turun untuk orang Arab. Pesan-pesan universalitas Al-Qur’an merupakan teks terbuka yang absah dikaji siapa saja dan selalu menampilkan cahaya dari sisi mana saja dipandang. Yang terpenting, ketika berinteraksi dengan Al-Qur’an, Buya Syafii Maarif menekankan sikap lapang dada. “Lapang dada itu sangat penting untuk mewujudkan Islam yang rahmatan lil alamin. Islam yang bagaimana itu? Yaitu Islam yang ramah, halus, sejuk. Bukan Islam yang sangar dan menakutkan,” tegasnya.
Buya Syafii Maarif lantas menyatakan, kita butuh Islam yang profetik, Islam kenabian, Islam Al-Qur’an. Islam kita selama ini belum demikian. “Untuk itulah,” Buya Syafii Maarif melanjutkan, “dakwah Islam harus menyentuh hati. Kerap orang tertarik kepada sesuatu karena caranya yang tidak menyakitkan hati, disampaikan dengan baik dan sopan.”
Akhirnya, literasi sebagaimana dipesankan Buya Syafii Maarif selama ini penting kita camkan baik-baik. Jangan pula lupa bahwa membaca, berpikir, meneliti, dan menulis adalah aktivitas yang juga sangat ditekankan oleh Islam. Dengan begitu, menjadi Muslim yang aktif membaca, berpikir, meneliti, dan menulis adalah bukti ketaatan kita pada ajaran Islam.
Setidaknya, di antara manfaat penting menulis hal-hal baik adalah supaya kita, sebagai penulisnya, dapat terus berusaha menjadi seperti yang telah ditulis tersebut. Sayang, belakangan ini banyak orang fasih menjelaskan berbagai teori dan motivasi tentang menulis, tetapi sedikit sekali, bahkan tidak ada, karya tulis yang dia hasilkan.
Mari kita tumbuhkan spirit literasi ini dari diri kita, dan sekarang juga. Sebagaimana pesan yang juga banyak kali diutarakan Buya Syafii Maarif, “Jangan pernah percaya pada kegagalan. Hidup hanya sekali, dan yang sekali ini harus diberi makna.”