MUHAMMADIYAH.OR.ID, JAKARTA – Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Abdul Mu’ti menghadiri konferensi para ulama India dan Indonesia di New Delhi, India, Selasa, 29 November 2022. Dalam konferensi bertema “The Role of Ulama in Fostering a Culture of Interfaith Peace and Social Harmony in India and Indonesia”, Abdul Mu’ti datang bersama M Zaitun Rasmin (Wahdah Islamiyah), Cholil Nafis (MUI), PBNU, termasuk para pimpinan ormas Islam lainnya.Turut hadir, Menko Polhukam RI, Mahfud MD mengatakan bahwa kegiatan ini adalah tindak lanjut pertemuannya dengan Ajit Doval selaku Penasihat Keamanan Nasional India pada Maret 2022 lalu.
“Saya selaku Menko Polhukam dan Ajit Doval selaku NSA India bersepakat untuk saling tukar pengalaman antara India dan Indonesia yang rakyatnya plural dan multikultural. InsyaAllah dialog antar tokoh-tokoh agama ini akan bermanfaat bagi kedua bangsa dan negara,” kata Mahfud.
Isu utama yang dibawa terutama terkait keresahan yang sama akibat adanya ekstrimisme dan terorisme lintas batas. Di sinilah para ulama diharapkan memainkan perannya untuk membimbing umat. Sementara itu, Abdul Mu’ti dalam pidatonya menegaskan bahwa para ulama kaum muslimin telah berperan besar dalam membina budaya, perdamaian, dan keharmonisan sosial antaragama di Indonesia. Hal ini kata dia menerusi kultur Nusantara itu sendiri.
Sebab kata dia, kultur masyarakat Nusantara telah damai dan toleran bahkan sebelum Islam datang. Hal ini dibuktikan dengan adanya agama luar pribumi yang bisa masuk dan berkembang luas seperti Hindu, Buddha, lalu kemudian Islam. Bahkan agama-agama itu saling berasimilasi dengan pengaruh budaya dan para pendakwahnya yang berasal dari luar seperti India, Arab, maupun Persia.
“Tidak ada catatan sejarah tentang konflik antara umat Islam dan umat beriman lainnya. Hal ini disebabkan oleh dua alasan: Islam masuk ke Indonesia melalui proses natural-sosiologis yang sangat damai. Tidak ada misionaris Islam. Umat Islam datang ke Indonesia sebagai pedagang atau musafir. Penduduk setempat bertemu dan memeluk Islam melalui interaksi bisnis dan kemudian pernikahan,” jelasnya.
Meski umat Islam kemudian menjadi mayoritas, para ulama kata Mu’ti telah berhasil membimbing umat dalam pemahaman moderat. Para ulama dalam sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan justru sepakat untuk meneguhkan Pancasila yang secara nilai dijiwai oleh ajaran Islam, dan menolak Indonesia menjadi negara satu golongan, yaitu Negara Islam. Secara kasat mata, wajah toleran umat Islam Indonesia dapat dilihat dari dijadikannya identitas agama Hindu dan Buddha, yakni candi Prambanan dan candi Borobudur sebagai landmark budaya Indonesia.
“Persetujuan Pancasila sebagai Dasar Negara dan Ideologi bukan disebabkan oleh lemahnya umat Islam dalam mengamalkan Islam. Memang, itu mencerminkan pemahaman Islam yang mendalam dan komprehensif,” tegas Mu’ti.
Organisasi-organisasi Islam terbesar di Indonesia, Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama (NU), Persis dan lainnya juga menerima dan mempertahankan Indonesia sebagai Negara Pancasila yang bersifat final.
Pada Muktamar Muhammadiyah ke-47 (2015), Muhammadiyah mendeklarasikan Indonesia sebagai Negara Pancasila Darul Ahdi wa Syahadah. Pernyataan ini kata Mu’ti menegaskan bahwa Negara Pancasila adalah Islami, dalam arti lain tidak bertentangan dengan ajaran Islam.
Terakhir terkait dengan ekstrimisme dan pengerasan agama belakangan ini di tanah air, Mu’ti menyebut bahwa hal tersebut adalah konsekuensi dari Era Reformasi yang mengubah wajah demokrasi Indonesia sehingga semua pemikiran, ideologi, bahkan gerakan dari kanan ke kiri saling berkontestasi.
“Telah terjadi perubahan dalam pandangan Islam di Indonesia. Seperti yang juga dialami oleh negara-negara Muslim lainnya, ada segelintir elemen Muslim di Indonesia yang ekslusif, ekstrim, intoleran, dan anti negara. Meski begitu, mayoritas umat Islam adalah mendukung Pancasila, menerima demokrasi, menaati hukum nasional, dan sekaligus menjadi umat Islam yang saleh,” tegasnya. (afn)